
Tiba-tiba, aku menjadi sosok yang galak dan menyebalkan. Entah kenapa, aku sendiri tak tahu. Sepanjang hari ini aku hanya mencaci maki orang, atau minimal adu mulut. Aku juga sebenarnya ragu-ragu, kapan ini semua dimulai. Di saat aku berpikir, aku teringat saat kemarin pagi aku terbangun. Aku terbangun dengan perasaan kacau, dan keadaan yang kacau pula. Tubuhku dipenuhi peluh, rambutku berantakan, dan wajahku sangat pucat. Saat itu, kerongkonganku sangat sakit dan kering. Aku sendiri bingung, apakah di dalam mimpi malam itu aku berteriak keras? Entahlah. Aku lupa. Padahal, aku sendiri yakin semua ini bermula dari mimpi buruk itu. Samar-samar, aku ingat di mimpi itu aku dikejar-kejar oleh seseorang yang tak ku kenal. Ia mengejarku dan mengejar terus, hingga aku tak tahu harus berlari kemana, dan pada akhirnya, aku terjatuh. Setelah itu, ucapan sosok itu, rupanya, dan apa yang ia lakukan terhadapku sama sekali tak ku ingat. Dan tak hanya malam itu, tadi malam pun aku bermimpi hal yang serupa. Tapi seperti kemarin, saat terbangun aku pasti lupa. Aku mendesah. Benar-benar terasa menjengkelkan. Sakit di telapak tanganku kini terasa lagi. Darah masih saja menetes. Aku tersenyum sendiri mengingat tadi pagi aku meninju pohon besar, sebagai pelampiasan amarahku. Dan sekarang, aku merasakan sakitnya.
“Nih sapu tangannya! Jangan nonjok pohon lagi, ya. Konyol banget,” kata Shilla yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapanku. Lamunanku langsung terhenti. Aku berusaha sekuat tenaga untuk menyunggingkan senyumku padanya. Shilla adalah perempuan yang sudah menemaniku selama kurang lebih satu tahun ini, dan aku tak ingin menyakitinya karena emosiku yang saat ini sedang sangat labil. Shilla duduk di sampingku. Ia memperhatikanku yang sedang membersihkan lukaku.
“Mau aku bantu?” tanya Shilla. Aku diam saja. Aku berusaha untuk tidak marah saat ini. Sepertinya dengan tidak menjawab pertanyaannya pun akan tetap menyakitinya. Aku yakin, nanti malam pasti Shilla menelponku sambil menangis. Aku hanya berharap, tak ada kata ‘putus’ keluar dari bibirnya.
“Kamu lagi kenapa, sih, Cak? Lagi marah, ya? Aku salah apa?” ujar Shilla. Aku mendesah. Inilah ucapan Shilla yang paling aku takuti. Kalimat ‘aku salah apa?’ adalah kalimat yang sangat menyakiti. Karena kalimat itu selalu membuatku merasa bersalah.
“Nggak. Nggak kenapa-kenapa,” jawabku, berusaha seramah mungkin.
“Dari kemaren kamu ngomel-ngomel terus, aku dicuekin, kamu nonjokin pohon, temen-temen kamu ngeluh sama aku, katanya kamu nyebelin. Kamu cerita dong kalo lagi ada masalah?”.
“Shilla, please. Aku lagi nggak pengin diganggu. Maaf, Shill.”
Oh, jadi aku ngeganggu, ya? Maaf deh, Cak,” tukas Shilla seraya pergi meninggalkanku. Benar kan, pasti ujung-ujungnya aku akan menyakitinya. Aku memang benar-benar tak berguna.
***
“Jadi, gimana kisah mimpi lo itu?” tanya Irsyad padaku, saat aku mengeluhkan betapa mimpi itu membuatku emosional. Dia adalah mahasiswa Psikologi yang selalu mendapatkan nilai A pada setiap ujian yang ia lalui. Dan dia adalah teman satu SMA yang dulu juga sering aku jadikan tempat curhat.
“Itu dia masalahnya, Syad! Gue nggak inget detail-detailnya!” sahutku.
“Berarti, masih ada yang lo inget, kan? Walaupun sepatah-patah?” tanya Irsyad. Aku sedikit ragu-ragu untuk menceritakannya, tapi akhirnya, aku menjelaskannya juga. Yang aku ingat hanyalah sosok yang tak terlihat wajahnya sedang memburuku hingga aku terjatuh.
“Apa lo ketakutan waktu lo dikejar sama dia?”
“Ya iyalah. Nyeremin gitu juga,” jawabku, agak heran dengan pertanyaan Irsyad. Bukannya aku tidak akan berlari kalau tidak ketakutan? Tapi, biasanya Irsyad punya argumen sendiri. Terkadang, hal yang tak masuk akal bagiku adalah kunci bagi Irsyad untuk menemukan titik suatu masalah.
“Kalo lo takut, berarti lo yakin kalo dia jahat, kan?” tanyanya lagi. Aku semakin bingung.
“Nggak yakin juga, sih.”
“Lo ketakutan sama seseorang di dalam mimpi itu penyebabnya ada dua hal. Yang pertama, lo takut sama dia karena lo pernah nyakitin dia di masa lalu lo. Trus yang kedua, lo takut sama dia karena dia pernah nyakitin lo,” jelas Irsyad, membuatku sedikit terkejut.
“Dia? Jadi, lo udah tau siapa ‘dia’ itu?” tanyaku.
“Kemungkinan, dia adalah seseorang yang pernah ada di memori lo. Artinya, dia pernah jadi bagian yang penting di hidup lo, di masa lalu,” terang Irsyad. Aku terdiam mendengar penjelasan Irsyad yang masuk akal juga. “
Trus kenapa mimpi itu datangnya sekarang? Kenapa nggak dari dulu aja?”
“Mungkin aja, kemaren waktu lo mimpiin itu, ada kaitannya sama seseorang yang ada di masa lalu lo itu,” tebakan Irsyad membuatku terhenyak. Pertama kali aku bermimpi buruk adalah dua hari yang lalu, dan dua hari yang lalu tanggal 30 Januari. Tanggal yang tidak asing untukku. Pada tanggal itu, aku mengalami kecelakaan mobil bersama kedua orang tuaku saat aku berusia 10 tahun dan menyebabkan aku hilang ingatan untuk sementara. Saat itu, aku memang tidak mengingat apapun dan siapapun. Namun setelah sebulan lamanya, ingatanku mulai pulih kembali. Dan saat itu, aku merasa ada jiwaku yang hilang. Namun apa atau siapa, aku tak tahu.
“Kalo lo terganggu sama mimpi itu, mendingan nggak usah lo ambil hati, deh,” ucap Irsyad, menghamburkan lamunanku akan sosok yang mengejarku.
“Syad, apa mungkin, orang itu ngejar gue bukan karena niat jahat? Tapi karena dia pengin ngomong sesuatu?” tanyaku. Irsyad hanya terdiam sambil mengerutkan kening saat mendengar pertanyaanku.
***
Saat pulang kuliah, aku mendapati Shilla sedang berdiri mematung di jalan yang biasa aku lewati. Aku tahu, aku harus meminta maaf karena sifatku pagi tadi.
“Shilla!” panggilku. Shilla menoleh, lalu membuang muka. Aku mendekatinya pelan-pelan.
“Udah sembuh?” tanya Shilla.
“Sembuh? Emang aku sakit apa, Shill?” jawabku.
“Menurutku, sikap kamu sekarang kayak orang sakit,” ucap Shilla.
“Maaf, Shill. Aku lagi labil banget sekarang,” balasku sambil menatap matanya lekat-lekat.
“Tapi kenapa kamu nggak cerita kalo kamu lagi ada masalah?”
“Ini… bukan masalah besar, kok. Aku pasti bisa ngatasin. Kamu nggak usah khawatir, ya?” Shilla menatapku sebentar dengan tatapan menimbang.
“Oke. Tapi kamu harus cerita kalo ada apa-apa.”
“Pasti, Shill.”
***
Aku sedikit menyesal telah membohongi Shilla. Sebenarnya, ini adalah masalah yang bagiku sangat besar. Mimpi itu. Mimpi buruk itu selalu datang di setiap aku tidur. Tidak hanya malam, bahkan tidur siang pun aku selalu terganggu oleh mimpi itu. Mimpi yang tak jelas. Tapi lain untuk malam ini, aku bisa melihat sosok itu dengan lebih jelas. Wajahnya mirip seseorang yang sangat ku kenal. Tapi aku tak tahu siapa. Dia perempuan, wajahnya bersih, kulitnya putih dan matanya tegas dan penuh misteri. Ia menatapku dengan tatapan sedih. Tangannya berusaha meraih tanganku yang lemah. Aku terjatuh –lagi-lagi− dengan kepalaku terbentur sesuatu.
“Jangan lari lagi, Cakka.. jangan berlari menjauhiku,” pintanya dengan suara serak. Akhirnya, aku memberanikan diriku untuk menyambut tangannya. Aku berhasil berdiri, walaupun kepalaku serasa pusing dan nyeri akibat benturan tadi. Aku melihat tempat di mana saat ini aku berada. Hanya ada bukit, rumput, awan, dan kedamaian. Aku memegang kepalaku, dan aku mencium bau amis. Darah. Darah mengucur dari pelipisku yang terbentur bebatuan.
“Sudah ku bilang jangan berlari, Cakka. Kau lihat akibatnya, kan?” kata perempuan itu. Wajahnya memang tidak menakutkan, tapi entah kenapa aku tidak nyaman berada di sampingnya.
“Siapa kamu? Kenapa kamu selalu ada di mimpiku??” tanyaku sedikit keras. Perempuan itu terlihat sedih. Dan ia menangis. Menangis dalam diam.
“Kamu nggak inget aku, Cak? Kenapa kamu ngelupain aku? Apa karena sekarang kamu punya Shilla? Aku akan selalu ada di mimpi kamu, sampai kamu tahu siapa aku,” kata perempuan itu. Aku terkejut bukan main. Ia mengenalku, dan ia juga mengenal Shilla.
“Denger, aku nggak tahu siapa kamu. Dan tolong, jangan ganggu aku. Aku jadi emosional gara-gara kamu,” balasku. Ia kembali menangis.
“Suatu saat, kamu pasti inget aku. Dan aku harap, kamu tahu alasan kenapa aku datang ke mimpimu,” sebelum aku sempat menjawab, aku merasa tubuhku terguncang-guncang.
“Cakka!! Bangun!!” seru sebuah suara. Itu suara mama. Aku terbangun sambil mengerjapkan mataku. Kepalaku berkunang-kunang.
“Kepalamu kenapa, Cak? Kenapa berdarah? Ya ampun!” perkataan mama membuatku memegang kepalaku. Dan aku melihat darah menempel di telapak tanganku.
“Engg… enggak tau, Ma.” “Ya udah, mama ambilin obat dulu, ya,” kata mama. Ia bergegas keluar dari kamarku. Aku duduk di kasur dengan perasaan aneh. Aku rasa yang tadi itu mimpi, tapi kenapa kepalaku benar-benar berdarah?
***
Aku tidak kuliah hari ini. Setelah bermimpi tentang perempuan itu semalam, badanku demam dan kepalaku sangat pusing dan pening. Dan saat ini, aku hanya terbaring lemah di kasur dengan mata terpejam. Baru saja aku terlelap, suara dari HP-ku membuatku terbangun. Ternyata telepon dari Shilla. Dia menyakan aku sakit apa, dan perlu tidak ia menjengukku. Aku jawab boleh, tapi jangan sampai dia bolos kuliah. Shilla mengiyakan, lalu menutup telepon. Karena kepalaku kembali terasa berat, aku memejamkan mataku lagi. Namun, beberapa saat kemudian aku mendengar sesuatu. Suara pintu terbuka. Aku terpaksa membuka mataku lagi. Tapi anehnya, aku tak melihat siapapun di kamarku.
“Cakka.. kamu bener-bener ngelupain aku?? Cakka… CAKKA…!” tiba-tiba terdengar olehku suara seorang perempuan yang ada di dalam mimpiku. Ia mendekatiku yang terbaring tak berdaya. Mulutku terkunci, dan tubuhku serasa kaku. Aku hanya terdiam sambil terus menatap wajah perempuan cantik itu. Ia menggenggam tanganku, lalu mengelusnya lembut. Dan yang tak ku sangka, ia membasahi telapak tanganku dengan air matanya. Lagi-lagi, ia menangis dalam diam.
“Cakka.. aku kembali cuma untuk nemuin kamu, dan aku pengin bilang satu hal, aku cinta sama kamu, Cak. Aku sayang sama kamu.. walaupun kamu nggak inget siapa aku, walaupun aku nggak bakal bisa milikin kamu,” ucap perempuan itu sambil tersedu-sedu. Aku dapat melihatnya dengan jelas, tapi aku benar-benar tidak ingat siapa dia. Aku terasa sangat dekat dengannya, namun aku tak mengenal dia.
“Aku ngerasa kenal sama kamu, tapi kenapa aku nggak inget sama kamu? Kamu siapa?” tanyaku dengan ragu-ragu. Mendengar apa yang ku katakan, perempuan itu mendongak. Matanya persis menatap mataku.
“Jadi kamu masih ngerasa kenal aku?” tanyanya, dengan aura bahagia. Aku mengangguk. Senyumnya mengembang.
“Beberapa hari yang lalu.. tepat 10 tahun pasca kecelakaan yang hampir merenggut nyawa kamu. Di mana waktu itu, aku pertama kali dateng ke mimpi kamu,” kata perempuan itu. Ia melepaskan genggaman tangannya. Aku mengangguk.
“Kamu tahu, siapa aja yang ada di dalam mobil kamu?” tanyanya. Aku menjawab yang aku ingat. Seingatku, yang ikut bersamaku adalah kedua orangtuaku dan sopir. “Kamu duduk di depan, kan? Samping sopir? Dengan siapa?” pertanyaan perempuan itu membuatku tercengang. Ya, ada yang duduk denganku di depan. Ada. Seorang perempuan, sahabat terbaik yang pernah aku punya.
“Engg.. aku.. aku lupa,” jawabku. Ia mendesah sedih. Setelah itu, ia pergi. Pergi menjauh. Entah kenapa aku begitu sedih.
“Jangan pergi!!” teriakku. Ia hanya melambaikan tangannya.
“I love you, Cakk…”
***
“IFY!!!” aku terbangun dengan degup jantung memburu. Nafasku serasa putus. Dan keringat dingin membasahi tubuhku. Aku melihat sekeliling kamarku, dan ku lihat Shilla dan mama sedang menatapku dengan khawatir. Shilla berlari mendekat begitu melihatku terbangun. “Cakka.. kamu tadi ngigau terus sambil nangis.. aku khawatir banget, Cak.. kamu nggak apa-apa, kan?” kata Shilla. Ia mengusap wajahku yang dipenuhi keringat dingin.
“Cakka, wajah kamu pucat banget.. nanti kita ke Rumah Sakit aja, ya?” ucap mama. Aku menggeleng pelan.
“Cak, tadi kamu manggil siapa? Ify? Siapa itu Ify?” tanya Shilla. Ku lirik mama. Ia menunduk dalam. Seketika air mataku langsung jatuh. Jelas saja Shilla bingung melihatku menangis. Aku janji, setelah semua ini selesai, aku akan menceritakan semuanya pada Shilla. “Ify.. dia, dia sahabatku waktu kecil.. sekarang dia di mana, Ma?” tanyaku dengan suara bergetar. Mama menatapku dengan sedih. Air matanya tiba-tiba jatuh. “Dia udah meninggal, Cak.. sewaktu kita kecelakaan hanya dia yang nggak selamat. Mama nggak tega ngasih tahu kamu. Bahkan sampe sekarang. Dan setelah itu, kamu hilang ingatan untuk sementara. Dan kamu juga lupa sama Ify,” penjelasan mama membuatku mengerti. Mengapa Ify datang pertama kali ke mimpiku tepat sepuluh tahun setelah kecelakaan itu. Mengapa dia sedih, mengapa dia menangis. Tapi satu hal yang tak ku mengerti, saat dia mengatakan ‘aku mencintaimu’.
***
“Aku nyesel banget kenapa sampe aku bisa lupain Ify, Shill,” kataku pada Shilla saat kami berjalan beriringan menuju kampus.
“Yang udah terjadi nggak bisa kita ulang, Cakk. Yang penting, kamu udah ziarah ke makamnya, kan? Pasti dia seneng karena akhirnya kamu inget sama dia,” balas Shilla. Aku tersenyum mendengar jawaban Shilla. Tiba-tiba, tanpa sengaja aku menabrak seseorang yang tengah buru-buru. Aku segera mengucapkan maaf. Perempuan yang ku tabrak langsung membereskan buku-bukunya yang berceceran. Aku dan Shilla membantunya. Saat ku lirik wajahnya, aku sangat terkejut. Perempuan itu melirik aku dan Shilla, lalu berjalan pergi setelah aku dan Shilla menyerahkan buku-bukunya. Ify. Ia sangat mirip Ify. Atau itu hanya ilusiku. Aku tersenyum. Ify, ia akan selalu ada. Sampai kapanpun.
I take from
http://idolaciliklovers.ning.com/forum/topics/when-she-say-i-love-you-cerpen?xg_source=activity